Selasa, 09 April 2013

Bupati Tana Toraja meresmikan Replika Rumah pendeta Jonathan Kelling

Bupati Tana Toraja, Theofilus Allorerung meresmikan Replika Rumah pendeta (pdt) pertama yang diketahui pertamakali datang di Toraja, Pdt. Jonathan Kelling, Selasa (19/3/2013) di Buisun, Makale.

Usai meresmikan monumen tersebut dalam kata sambutannya Theifilus menuturkan, peresmian rumah/museum di tempat ini merefleksikan kisah nan bersejarah 90 tahun yang lalu. Sekaligus merupakan kenangan bersejarah bagi semua orang Toraja hingga anak bersama cucu-cucu.

Ditambahkan Theofilus dibangunnya kembali monumen ini oleh Pemerintah Daerah, yang diprakarsai oleh beberapa tokoh agama, dan keluarga besar Tongkonan Buisun guna memperingati Pdt. Jonathan Kelling datang dari daerah Bantaeng untuk mengajarkan injil.

Monumen ini didirikan kembali akibat dahulu rumah ini pernah terbakar, beruntung masih tersisa batu tiang rumah yang masih asli yang bisa kita saksikan hingga saat ini,”tutur Theofilus.

Mewakili keluarga tongkonan Buisun, Daud Sampepali mengatakan sebelum kedatangan pdt. Cornelius Prins tongkonan ini terdiri dari Tallu Lembangna. Saat pdt Prins datang kelokasi ini dan melihat tongkonan dalam keadaan kosong. Maka dia kemudian membangun rumah yang juga dijadikan tempat ibadah, dan mengajar agama, hingga menerima pasien.

'Adalah Pdt. Prins yang membaptis 20 orang pertama di Toraja. Adanya Museum ini dibangun kembali mengingatkan asal mulanya Injil Masuk Toraja (IMT), sekaligus mengenang nenek kita jaman dahulu,” ucap Daud.

Bupati Tana Toraja, Theofilus Allorerung meresmikan Replika Rumah pendeta (pdt) pertama yang diketahui pertamakali datang di Toraja, Pdt. Jonathan Kelling, Selasa (19/3/2013) di Buisun, Makale.

Usai meresmikan monumen tersebut dalam kata sambutannya Theifilus menuturkan, peresmian rumah/museum yang bersejarah di tempat ini merefleksikan sejarah 90 tahun yang lalu. Sekaligus merupakan kenangan bersejarah bagi semua orang Toraja hingga anak bersama cucu-cucu.

Ditambahkan Theofilus dibangunnya kembali monumen ini oleh Pemerintah Daerah, yang diprakarsai oleh beberapa tokoh agama, dan keluarga besar Tongkonan Buisun guna memperingati Pdt. Jonathan Kelling datang dari daerah Bantaeng untuk mengajarkan injil.

Monumen ini didirikan kembali akibat dahulu rumah ini pernah terbakar, beruntung masih tersisa batu tiang rumah yang masih asli yang bisa kita saksikan hingga saat ini,”tutur Theofilus.

Mewakili keluarga tongkonan Buisun, Daud Sampepali mengatakan sebelum kedatangan pdt. Cornelius Prins tongkonan ini terdiri dari Tallu Lembangna. Saat pdt Prins datang kelokasi ini dan melihat tongkonan dalam keadaan kosong. Atas inisiatif baik kemudian membangun rumah yang juga sekaligus dijadikan tempat ibadah, dan mengajar agama, hingga merawat yang sakit.

'Adalah Pdt. Prins yang membaptis 20 orang pertama di Toraja. Adanya Museum ini dibangun kembali mengingatkan asal mulanya Injil Masuk Toraja (IMT), sekaligus mengenang nenek kita jaman dahulu,” Daud menutup.

Peresmian replika rumah pdt pertama di Toraja tersebut adalah rangkaian kegiatan perayaan 100 tahun Injil Masuk Toraja (IMT).

Tidak diketahui pasti awal masuknya misionaris dalam mengajarkan agama Kristiani di Tana Toraja. Namun, warga Toraja sepakat, masuknya Injil pertama kali terjadi 20 warga Toraja dibabtis pertama kali seratus tahun yang lalu
Read More..

Toraja Festival

Sebanyak 24 kegiatan yang rencananya akan dipertunjukkan melalui even berskala Internasional “Toraja Festival”.

Realisasi even itu sedang dipercepat prosesnya oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Baca: Toraja Festival Bakal Kalahkan Lovely December....)

Berikut sebanyak 24 kegiatan yang dibagi dalam 3 item besar di Toraja Festival yang rencananya akan digelar pada 1-14 Juli.

Ke 24 even ini masih sementara belum dipastikan terkait masih berlangsungnya pematangan program yang didapatkan dari Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Budaya dan Pariwisata Toraja Utara, Marthen Mettuka, dibawah ini:

Music

Toraja Opera (6 juli) berlokasi di Palawa Village. Opening even di Rantepao.

Indonesian Ethnimusicology Confrence (6-9 Juli) di Rantepao.

Jazz In The High Land (7-10 Juli) di Rantepao dan Makale.

Indie Music Festival (10-11 Juli) di Makale.

Choir Work Shop And Consert Series (Toraja Church Mengkendek & Art Center- 10-12 Juli), di makale dan Rantepao.

Youth Arts Camp (Mengkendek Hill-1-14 Juli) di Makale.

Global Sounds (Mengkendek Hill-12-14 Juli) di Makale.

Arts Literature And Culture

Photograph Workshop (Misiliana Hotel- 1-7 Juli) di Rantepao.

Ethnograpic Film And Festival (Misiliana Hotel And Art Center- 1-7 Juli) di Rantepao.

World Street Fair (Rantetayo- 6-9 Juli) Tana Toraja.

Palawa Art And Fashion Festival (Palawa- 6-9 juli) Toraja Utara.

Toraja Writer Festival (Sahid Hotel- 6-9 Juli ) Tana Toraja.

Architecture Confrence (STAKN Theology School-6-9 Juli) Tana Toraja.

Textile Exhibition & Confrence (Toraja Heritage Hotel) 1-14 Juli Rantepao.

Sport

Off Road (1-2 Juli) Toraja Utara.

Mountain Bike (1-2 Juli) Tana Toraja dan Toraja Utara (Toraja).

Lomba Rakit (Sa'dan River- 2 Juli) Toraja.

Lomba Tangkap Ikan (Kurra Pond- 3 Juli) Tana Toraj.

Lomba Hias dan Adu Kerbau (Kete' Kesu'- 4 Juli) Toraja Utara.

Lomba Hias Tandu Babi (Kete' Kesu'- 5 Juli) Toraja Utara.

Sepak Takraw (Kurra Field- 6 juli) Toraja Utara.

Rock Climbing (Mengkendek- 6 Juli) Tana Toraja.

Sisemba' (Kurra Field- 6 Juli) Toraja Utara.
Read More..

Monumen Patung Raja Kristus di Puncak Bukit Burake

Peringatan 100 Tahun Injil Masuk Toraja 2013 yang akan dimulai pada 16 Maret mendatang dipastikan lebih semarak.

Gelar perayaan akbar umat nasrani di Toraja ini alan terasa kental suasana rohaninya, dengan akan diadakannya pencanangan Monumen Patung Raja Kristus di Puncak Bukit Burake, Kecamatan Makale, Tana Toraja.

Rencananya pencanangan tersebut digelar setelah semua rangkaian kegiatan selesai, yaitu pada tanggal 22 Maret 2013, ujar Bupati Tana Toraja (Tator) Theofilus Allorerung dalam konfrensi pers kepada awak media, belum lama ini, Senin (11/3/2013) di Rujab Bupati, Makale.

Dikatakan Theofilus yang saat itu ikut didampingi Pantia Se Abad IMT, juga Sekda Tator Enos Karoma, menuturkan pencanangan patung raksasa Kristus akan dihadiri rombongan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Gubernur Sulsel Syahrul yasin Limpo.

Perayaan akbar umat Kristen di Toraja ini akan dipusatkan di kolam Makale, Kabupaten Tana Toraja, yang kegiatannya akan dimulai dengan menggelar Ibadah Raya tanggal 16- 23 Maret 2013.

Pantauan kabar-toraja.com sambutan perayaan akbar umat Kristen di Toraja tersebut, ditandai dengan pemancangan spanduk panitia IMT, maupun gereja-gereja di Toraja yang tersebar di jalan-jalan protokol kedua ibu kota Kabupaten, Makale dan Rantepao.
Read More..

Proyek Jalan Toraja Utara

Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Toraja Utara dalam tahun anggaran 2013 ini akan melaksanakan pekerjaan berupa pemeliharaan jalan ruas Tikala-Kepe'-Pangala masing-masing berlokasi di Kecamatan Tikala, kapala Pitu dan kecamatan Rinding Allo dengan dana APBD Toraja Utara 2013yang bersumber dari dana Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 4.800.000.000.
Selain itu peningkatan jalan ruas Rura-Tombangkalua-Rantebua di kecamatan Sanggalangi dan kecamatan Kesu' dengan dana sebesar Rp 2.365.000.000 lebih yang juga bersumber dari DAK dan DAU 2013.
Adapun peningkatan jalan ruas Pangala'-Baruppu' dengan nilai total Rp 2 miliar dan pemeliharaan jalan kota Rantepao, kecamatan Rantepao dengan dana DAK dan DAU sebesar Rp 6.500.000.000
Read More..

Makale












Makale merupakan pusat administrasi dan pemerintahan Tana Toraja. Kota kecil ini berawal sebagai pasar Tondon, dimana pedagang-pedagang bugis datang untuk berdagang pakaian dan membeli kopi. Banyaknya pedagang dan jauhnya jarak dari tempat asal para pedagang bugis membuat mereka memilih untuk mulai membangun tempat menginap tidak terlalu jauh dari pasar. Daerah di sekitar Paku dan to'kaluku kemudian perlahan-lahan berkembang menjadi tempat tinggal para pedagang ini.
Sementara Pusat Onder-Afdeling Makale yang didirikan Belanda pada mulanya tidak terletak di tempat yang sekarang menjadi kota Makale. Belanda awalnya memilih membangun Makale di sekitar Palesan, karena diangap cukup dekat dengan daerah Rano-Buakayu yang cukup gencar melawan Belanda pada awal kedatangannya. Baru beberapa tahun kemudian, dengan alasan akses, Belanda memindahkan Makale dari Palesan ke tempat kota Makale saat ini. Ketika itu, Belanda melihat daerah di sekitar pasar Tondon dan pemukiman pedagang Bugis sangat baik untuk membangun kota Makale.

 A.     KONDISI WILAYAH
a.      Sejarah Terbentuknya
Makale Utara yang berarti serangan balik dan merupakan nama distrik yang diberikan oleh Puang Tarongko (kepala distrik yang pertama) dan merupakan pemekaran dari Kecamatan Makale., sehingga menjadi sebuah kecamatan yang saat ini bernama Kecamatan Makale Utara, yang Ibukota Kecamatannya  terletak di Kelurahan Lion Tondok Iring. Kecamatan Makale Utara dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000.
b.      Letak Geografi
Ø  Luas Wilayah
Kecamatan Makale Utara terletak di Kelurahan Lion Tondok Iring yang memiliki luas wilayah 28,08 Km² dengan Koordinat Geografis berada pada 3°3’30” LS dan 119°57’7” BT.
Ø  Batas Wilayah dibatasi :
-        Sebelah Utara : Kabupaten Toraja Utara
-        Sebelah Selatan : Kecamatan Makale dan Kecamatan Sangalla
-        Sebelah Timur : Kecamatan Sangalla Utara
-        Sebelah Barat : Kecamatan Rantetayo
Ø  Topografi
Kecamatan Makale Utara yang keadaan wilayahnya terdiri dari pegunungan mempunyai jarak tempuh 5 Km dari Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten.
c.      Jumlah Kelurahan :
1. Kelurahan Sarira
2. Kelurahan Tambunan
3. Kelurahan Bungin
4. Kelurahan Lemo
5. Kelurahan Lion Tondok Iring
  B.     POTENSI UNGGULAN
Kecamatan Makale Utara mempunyai potensi unggulan yaitu :
1. Pertanian
2. Perikanan
3. Peternakan
4. Pertambangan
5. Perindustrian
6. Perdagangan
7. Pariwisata
  C.     KOMPOSISI KEPENDUDUKAN
Jumlah Penduduk Kecamatan Makale Utara keadaan 28 Februari 2010 tercatat 12.080 jiwa, tediri dari laki-laki 5.820 dan perempuan 6.260 jiwa.
Read More..

Rantepao


 









Rantepao, inilah sebuah kota kecil di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, yang memiliki segudang pesona alam dan budaya. Kota ini terus menggeliat menjadi pusat budaya suku Toraja sekaligus pintu gerbang saat Anda menyambangi keindahan dan kemegahan budayanya. Bersiaplah untuk memulai petualangan dan wisata yang mengesankan di kota yang dikelilingi perbukitan dan puncaknya senantiasa ditutupi kabut itu.

Rantepao, ibu kota Kabupaten Toraja Utara, telah dikenal sejak dulu sebagai gerbang bagi wisatawan yang hendak menikmati suguhan wisata alam, budaya, dan sejarah dari Toraja yang eksotis. Rantepao berjarak sekira 300 km dari Makasar, ibu kota Sulawesi Selatan. Kota ini mudah diakses dengan berbagai pilihan alternatif kendaraan baik darat maupun udara.

Rantepao terkenal sebagai kota yang cantik dan memiliki suhu yang sejuk. Kota ini menunjukan pesonanya yang masih bernuansa tradisional kental dan itu semakin menarik dengan lansekap alam yang hijau. Kota Rantepao dikelilingi perbukitan yang puncaknya senantiasa ditutupi kabut. Sepanjang tahun hujan mengguyur kota ini, bahkan di musim kemarau sekalipun. Tak heran, Rantepao disebut sebagai kota hujan. Selain itu, Rantepao dilalui oleh Sungai Sa'dan dimana telah menjadi sumber air bagi pertanian dan peternakan di wilayah sekitarnya.

Sebagai pusat pariwisata dan perdagangan di Toraja, Rantepao memiliki sarana akomodasi dan fasilitas umum yang terbilang lengkap. Oleh karena itu, meski Rantepao hanyalah kota kecil namun aktivitas kota ini cukuplah ramai. Di Rantepao, segala kebutuhan wisatawan baik lokal dan asing lengkap tersedia.  Ada beragam pilihan hotel, agen wisata, homestay, money changer, toko, pasar tradisional, mini market, bank, perwakilan perusahaan otobus, ATM, warnet, dan warung makan dapat dengan mudah Anda temukan di kota ini. Keunikan lain dari Rantepao adalah bentuk bangunan-bangunan dari fasilitas umum, seperti bank dan kantor dibangun dengan mengadopsi bentuk rumah adat (tongkonan).

Rantepao adalah ibu kota Kabupaten Toraja Utara yang baru terbentuk tahun 2008 sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2008 dimana Kabupaten Tana Toraja dimekarkan menjadi 2 (dua) kabupaten. Pada 26 November 2008, Kabupaten Tana Toraja resmi dibagi menjadi Kabupaten Tana Toraja (dengan ibukota Makale) dan Toraja Utara (dengan  ibu kota Rantepao).

Lokasi kota Rantepao yang strategis dan dekat dengan beberapa kawasan tujuan wisata terkenal di Toraja menjadi nilai tambah tersendiri. Rantepao berjarak sekira 4 kilometer dari salah satu desa tujuan wisata yang paling terkenal di Toraja, yaitu Kete Kesu. Mengunjungi Londa (makam gua kapur kuno) maka jarak yang harus Anda tempuh sekira 7 kilometer. Rantepao Lemo berjarak sekira 10 kilometer, di sebelah Selatan Rantepao. Lemo adalah juga area pemakaman tua bagi para leluhur masyarakat Toraja. Sedangkan untuk menuju Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja, jarak yang harus ditempuh adalah sekira 18 km dari sebelah utara. Sementara, jarak Rantepao Kambira adalah 20 kilometer. Di Kambira terdapat pohon Tarra berumur sekitar 300 tahun dan sekaligus kuburan bagi puluhan jenazah bayi berusia 7 bulan. Batutumonga Rantepao dapat ditempuh dalam jarak 22 km; terdapat 56 menhir di desa ini. Untuk menuju Tilangga' (obyek wisata pemandian alam), jaraknya sekira 12 km dari selatan Rantepao.



Read More..

Sejarah Tana Toraja

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi SelatanIndonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana TorajaKabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugisto riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Identitas etnis

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelumpenjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. 

Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3]Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. 
Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]


Sejarah

Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja.[7] Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. 

Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen ProtestanKatolikHindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Masyarakat

Keluarga


Sebuah perkampungan suku Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

Kelas sosial

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Agama

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Kebudayaan

Tongkonan


Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu


Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura(atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan sepertikepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbauatau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Read More..